Thursday, November 1, 2018

Dalil Tahlilan, peringatan 7hr/40hr/100hr, Haul dan 1.000hr




SELAMATAN HARI KE 3, 7, 40, UNTUK ORANG YANG MENINGGAL

1.      Teknis untuk selamatan orang yang meninggal
            Dalam realitas sosial, ditemukan adanya tradisi masyarakat jawa, jika ada keluarga yang meninggal, malam harinya banyak sekali  para tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka semua ikut bela sungkawa atas segala yang menimpa, sambil mereka semua ikut mendoakan orang yang meninggal dankeluarga yang ditinggalkan.
            Hal tersebut bagi kaum nahdliyyin sampai pada hari ketujuh, sebab disamping bersiap menimpa tamu, sanak keluarga, handai taulan, dan kerabat dekat, mereka mengadakan doa bersama melalui bacaan-bacaan kalimat Thayyibah, seperti bacaan yasin, tahlil, tahmid, istighatsah, dan diakhiri dengan membaca doa yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia.
            Sedang persoalan ada dan tidaknya hidangan makanan, bukan hal penting, tapi pemanfaatan pertemuan majlis silaturrahim seperti ini, akan terasa lebih berguna jika diisi dengan berdzikir bersama. Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga kurang mampu, memandang sajian makanan sebagai suatu keharusan untuk disajikan kepada para tamu, padahal substansi bacaan tahlil dan doa adalah untuk menambah bekal bagi mayit.
            Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul), dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur para keluarga yang ditinggalkan, dan sekaligus ingin mengambil I’tibar bahwa kita juga akan menyusul (mati) dikemudian hari.
            Selanjutnya, dari tradisi seperti itu, muncul persoalan ditengah masyrakat tentang :
   -Bagaimana hakikat yang sebenarnya hukum acara selamatan yang dalam tradisinya ditentukan hari dan jumlahnya seperti itu…….?
   -Dasar apa yang bisa dijadikan sebagai landasan amaliyyahnya….?

2.      hukum selamatan 3, 7, 40, dan 100 hari dan landasan amaliyyahnya

            Adapun hukum mendoakan orang yang sudah meninggal dunia ( dalam wujud doa bersama setelah membaca kalimat thayyibah atau surat yasin ) adalah disunnahkan ( Masnunah / ),  bagitu juga hukum bershadaqah ( dalam wujud selamatanya ) dan bersilaturrahim ( dalam wujud kumpul bersama dirumah duka). Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW sebagai berikut :

عَنْ اَبِى ذَرٍّ نَاسَا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ يَا رَسُوْل اللهِ ذَهَبَ اَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالْاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيُصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَّدَقُوْنَ بِفُضُوْلِ اَمْوَالِهِمْ قَالَ اَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ . رواه مسلم

Dari Abi Dzarr, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW, Ya Rasulullah, orang orang kaya itu mendapatkan suatu pahala, (padahal) mereka shalat  separti kami, mereka puasa seperti kami, mereka bershadaqoh dengan  kelebihan harta kekayaanya, lalu Nabi SAW menjawab : bukanlah Alloh SWT sudah menyediakan untuk kamu sekalian sesuatu yang dapat kamu sedekahkan….?. Sesungguhnya setiap satu bacaan Tasbih ( yang telah kamu baca ) merupakan sedekah, dan setiap takbir merupakan sedekah dan setiap bacaan tahmid juga merupakan sedekah dan setiap tahlil merupakan sedekah. HR Muslim.
عَنْ عَمْرُو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ اَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْاِسْلاَمُ ؟. قَالَ طِبْتُ الْكَلاَمِ وَاِطْعَامُ الطَّعَامِ ( رواه احمد )
Dari ‘Amr bin ‘Abasah, beliau berkata : aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu aku bertanya : Ya Rasulullah, apakah islam itu….?. beliau menjawab : Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan suatu makanan. HR Ahmad.
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْل اللهِ اِنَّ اُمِّى تُوُفِّيَتْ اَفَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاِنَّ لِى مَخْرَفًا فَاُشْهِدُكَ اَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. رواه الترمذى
Dari Ibnu Abbas sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya…?. Beliau menjawab Iya, lalu lelaki tersebut berkata aku memiliki sebidang tanah, maka aku persaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku. HR Turmudziy.
            Dengan demikian, maka hukum bershadaqoh yang pahalanya dihadiahkan kepada orang sudah meninggal dunia itu diperbolehkan. Begitu juga hukum peringatan hari ke 3, 7, 40, 100, setahun, 1000 hari, yaitu diperbolehkan, sebagaimana pandangan para ahli Hukum Islam dalam kitab-kitab sebagai berikut :
1). Kitab al-Hawiy, yaitu :

قَالَ طَاوُسْ : اِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّامِ - اِلَى اَنْ قَالَ –عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ : يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَاَمَّاالْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَاَمَّاالْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ اَرْبَعِيْنَ صَحَابًا

Imam Thawus berkata : seorang yang mati akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu sebaiknya mereka ( yang masih hidup ) mengadakan jamuan makan ( sedekah ) untuknya selama hari-hari tersebut…..sampai kata-kata : dari sahabat Ubaid ibnu Umair, dia berkata : Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.

2). Kitab al-Hawiy, yaitu :

اَنَّ سُنَّةَ  الْاِطْعَامِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ بَلَغَنِى اَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ اِلَى الآَنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ اَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ اِلَى الآَنَ وَاَنَّهُمْ اَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ اِلَى الصَّدْرِ الْاَوَّلِ 

Kesunatan memberikan sedekah makanan selama 7 (tujuh ) hari merupakan perbuatan yang tetap saja berlaku sampai sekarang ( yaitu masa al-Suyuthiy  abad ke-IX H ) di Makkah dan di Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang dan tradisi tersebut diambil dari ulama’ salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

3). Kitab al-Ruh, yaitu :

....اَفْضَلُ مَا يُهْتَدَى اِلَى الْمَيِّتِ الْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَالْاِسْتِغْفَرُ لَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَالْحَجُّ عَنْهُ وَاَمَّا قِرَاَةُ الْقُرْآءَنِ وَاِهْدَؤُهَا لَهُ تَطُوُّعًا بِغَيْرِ اُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ اِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ

….Sebaik-baik amal perbuatan yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, bersedekah, istigfar, berdoa dan haji. Sedangkan pahala membaca al-Qur’an secara ikhlas dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut, sebaaimana pahalanya puasa dan haji.

4). Kitab Nihayah al-Zain, yaitu :

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ الْمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلاَ يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِى سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ الْأَيَّامِ مِنَ الْعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ اَحْمَدْ دَحْلاَن وَقَدْ جَرَّتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ فِى ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِى سَابِعٍ وَفِى تَمَامِ الْعِشْرِيْنَ وَفِى الْاَرْبَعِيْنَ وَفِى الْمِائَةِ وَبَعْدَ ذَلِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلاً فِى يَوْمِ الْمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ السُّنْبُلاَوَيْنِى....

Dan shodaqah untuk mayit dengan cara syar’i itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari dari hari-hari kematianya. Sebagaimana Sayid Ahmad Dahlan berfatwa ‘’ telah menjadi kebiasaan manusia shodaqah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, hari ke dua puluh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, dan setelah itu setiap tahun pada hari kematian. Sebagaimana juga didukung oleh Syeh Sunbulawainy.

Wednesday, October 3, 2018

ZIARAH KUBUR DALAM PERSEPEKTIF ASWAJA


Gambar terkait


ZIARAH KUBUR

1. Ziarah dalam bahasa artinya “kunjungan”
Jika kata ziarah dihubungkan dengan kata kubur, maka yang dimaksud ziarah kubur ialah  Aktivitas dengan maksud mendoakan orang yang telah meninggal dunia dan mengingat kematiannya.
            Tradisi ziarah kubur ini sudah menjadi pandangan umum di masyarakat Jawa khususnya kaum nahdliyin yang biasanya dilakukan setiap hari Kamis sore atau Jumat pagi, sebab waktu-waktu ini dianggap sebagai waktu senggang bagi mereka yang ketepatan libur di hari Jumat apalagi bagi para santri pondok pesantren di berbagai daerah yang tentunya mengunjungi makam para Kiai atau keluarganya merupakan kunjungan prioritas bahkan bagi mereka yang sedang berada di ruma
h biasanya mengunjungi makam ayah ibunya atau leluhurnya.
            Praktek ritual yang berhubungan dengan amalan ziarah kubur tergantung tradisi masyarakat setempat seperti:
1.    Membaca salam ketika masuk ke makam.
2.    Membersihkan lingkungan dari dedaunan dan rerumputan yang ada di kiri kanan makam yang akan di ziarahi.
3.    Mengganti bunga-bunga yang sudah kering di atas makam
4.    Membaca Al quran, Kalimah Toyyibah atau membaca surat Yasin tidak ada batasan yang mengikat, semua dilakukan dengan ikhlas dan selalu diakhiri dengan membaca doa kepada Allah SWT bukan kepada selain-Nya pakan untuk diri sendiri para Kyai bapak-ibu dan semua umat Islam tanpa kecuali.
Dari tradisi ziarah kubur dengan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat seperti itu muncul persoalan yaitu;
a. Bagaiman Hukumnya berziarah kubur tersebut?
b. Apa guna dan manfaatnya?

2. Ziarah kubur dan landasan amaliyahnya
            Adapun hukum berziarah kubur adalah boleh ( Mubah ) bahkan dianjurkan dalam agama baik laki-laki maupun perempuan terutama bagi mereka yang memang senang berziarah kubur seperti masyarakat Jawa dan kaum Nahdliyin,
Dasarnya adalah Hadits Nabi sebagai berikut;


“Dari Buraidah Iya berkata Rasulullah SAW bersabda saya pernah melarang kamu berziarah kubur tapi sekarang Muhammad telah memberi diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya, Maka sekarang berziarahlah karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat HR At Turmudzi”


“Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa hadis tersebut diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan melakukan ziarah kubur akan tetapi setelah beliau membolehkannya maka laki-laki dan perempuan tercakup dalam dalam kebolehan tersebut HR At Turmudzi”

“Dari Ma’qol Bin Yasar beliau berkata Rasulullah SAW bersabda bacalah Surat Yasin untuk mayit mayit kamu sekalian HR Abu Dawud”

“Rasulullah berziarah ke makam Syuhada’ dalam perang Uhud dan Makam Keluarga Baqi’ Beliau mengucapkan Salam dan mendoakan Mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan HR Muslim Dan Ahmad Dan Ibnu Majah”

Dari beberapa Hadis Nabi tersebut maka ahli hukum islam berkomentar seperti yang tertuang di dalam kitab kitab sebagai berikut;

1. Kitab Ihya’ Ulumuddin :


“Dan ziarah kubur secara global hukumnya Sunnah mustahab untuk peringatan dan pelajaran, Ziarah kubur orang yang Shalih juga Sunnah mustahab karena mencari Barokah sekaligus menjadi pelajaran (yakni mengingat akan kematian ) dan Rasulullah SAW pernah melarang ziarah kubur kemudian mengizinkan hal itu, dan riwayat dari Ali Karamallhu Wajhah beliau bersabda ‘saya telah melarang kalian untuk ziarah kubur maka ziarahlah karena sesungguhnya ziarah kubur adalah peringatan bagimu sekalian atas akhirat kecuali kalian bilang hijrah’ dan Rasullah berziarah kemakam ibunya di Alfi Muqni’, tiada pernah beliau kelihatan menangis yang melebihi tangisnya pada saat itu dan pada saat itu pula Beliau bersabda saya telah izinkan ziarah kubur tanpa istighfar”

2. Kitab Al Syarwani
“Dikatakan dalam kitab Al I’ab: dan sesungguhnya ziarah kubur itu disunnahkan untuk pelajaran,silaturahmi dan doa. hal ini mengambil dasar dari pendapat Az Zarkasyi :sesungguhnya kesunnahan ziarah kubur terbatasi dengan tujuan mengambil pelajaran, silaturahmi, istighfar, membaca Al-Quran, doa dan semisalnya.Dan mayatnya harus muslim meskipun mayatnya berupa orang asing yang tidak dikenalnya kalau orang yang dikenalnya maka (ziarah kubur) hukumnya Sunnah Muakkad dan tidak disunnahkan menziari kubur orang kafir tetapi sebagaimana di dalam kitab Al Majmu’ diperbolehkan jika untuk mengambil pelajaran”

3. Kitab Kasyfu Al Syubhat

“Hadits dari Hisyam Bin Salim : setelah 75 hari ayahnya ( Nabi Muhammad ) meninggal Fatimah RA tidak lagi tampak Murung, Ia selalu ziarah ke makam para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap hari Senin dan Kamis sambil berucap disini makam Rasulullah SAW.”

Saturday, September 22, 2018

ABOUT SANTRI

Cakrawala Crew
Cakrawala Crew

" Santri "

☝Banyak orang yang mengartikan santri itu sebagai orang yang belajar agama di pondok pesantren sampai mereka lulus.
Bagaimana dengan yang tidak lulus ya....??
semoga tetap santri forevers .....Amiiiin..
 Ada juga yang menganganggap kata santri itu berasal dari bahasa Sansakerta yang berarti kitab suci. Begitu banyak uraian-uraian tentang santri. Bahkan secara filosofi pun ada.
MAU TAU >>>>?
Kalau kita mengira bahwa hanya kopi saja yang memiliki filosofi, santri pun punya filosofi. of course.....
Banyak sekali eksistensi santri menurut pandangan luas. eksistensi semacam ini hanya sebatas guyonan tapi kalau kita telusuri secara mendalam memang ada benarnya juga.Mantap!!!
DIBAWAH INI ADALAH FILOSOFI SANTRI
Berbagai sumber menyebutkan Bahwa istilah santri terdiri dari 5 huruf hijaiyah dengan makna yang berbeda beda akan tetapi satu tujuan...
  • Sin (س ) adalah kepanjangan dari kalimat سابق بالخير dengan arti "Pelopor kebaikan"  
WoooW...!@#$&(*
Sebagai orang yang paham akan agama, seharusnya santri itu menjadi pelopor kebaikan dengan menjadi pemimpin di daerahnya masing masing.MANTAP JIWA!!!!
Dengan sifat sifat yang di milikinya, sudah sewajarnya jika santri menjadi pemimpin dan pelopor kebaikan di daerahnya
Istilah amar ma’ruf nahi munkin sangat cocok bagi santri
  • Nun (ﻥ ) adalah kepanjangan dari kalimat نائب العلماء dengan arti "Penerus para Ulama"
Ulama di indonesia (jawa khususnya) lebih di kenal dengan sebutan kyai, kyai adalah sebutan bagi orang yang paham serta melakukan ibadah di daerahnya masing masing.
Berbagai tahapan harus dilalui seperti pembiasaan ibadah, hingga akhirnya allah meninggikan derajatnya di tengah tengah masyarakat.
Oleh karena itu sudah wajar jika santri sebagai penerus ulama, karena dulunya ulama adalah santri, insya allah......
  • Ta (ﺕ ) adalah kepanjangan dari kalimat تارك المعاصي dengan arti "Orang yang meninggalkan maksiat."
Maksiat adalah hal yang dilarang oleh agama, entah itu maksiat mata, hati, telinga, maupun maksiat lainnya.
Sedangkan santri adalah orang yang mempelajari itu semua, sangat bertolak belakang bukan.??????
tentunyaaaaa.......
Oleh karena itu jika kita melihat filosofi santri, seharusnya santri itu harus meninggalkan maksiat karena dia paham akan apa yang di perbuatnya
semoga kita bisa Aminnnn......
  • Ra( ﺭ) adalah kepanjangan dari kalimat ﺭِﺿَا ﺍﻟﻠﻪِ dengan arti "Ridho Allah"
Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang islam oleh karena itu jika mau memondokkan sanak saudara, maka kita harus mensosialisasikan kepada sanak saudara agar menata niatnya untuk mencari ridho allah
  • Ya (ﻱ ) adalah kepanjangan dari kalimat ﺍَﻟْﻴَﻘِﻴْﻦُ dengan arti "Keyakinan."
Makna terakhir dari filosofi santri adalah keyakinan, jika mau jujur, banyak orang tua yang tak memondokkan anaknya dengan alasan “nanti dia kerja apa”?????
Padahal selama kita mencari ridho allah, allah pasti akan membuka pintu rezeki bagi orang yang alim (berilmu).
Bagaimana tidak? siang pagi dan malam para santri belajar dan terus belajar
Meskipun lebih dominan ke pelajaran agama, tapi itulah yang akan membatunya kelak di kehidupan bermasyarakat.


HUKUM MENCARI ILMU




“ HUKUM MENCARI ILMU ”

"طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ"  الحديث
“ Menuntut Ilmu sangat di fardlu bagi setiap orang muslim laki-laki dan muslim perempuan “
Di atas adalah Hukum mencari atau bahkan menuntut ilmu terlebih ilmu agama bagi orang-orang Isalam….
Dan dibawah ini adalah sedikit tentang tatacara dan adabiyah seorang yang dalam keadaan menuntut ilmu ,penjelasn ini di ambil dari kitab Ta’limul Muta’alim yang sangat populer di kalangan pesantren ,umumnya dikalangan persantren yang ada di Nusantara,
oke kawan langsung aja kita Bahas aja ya…..

  • menerangkan hakekat ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya. ilmu ialah Sifat yang dimiliki seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya. Fiqih adalah: Pengetahuan tentang kelembutan-kelebutan ilmu. Ujar Abu Hanifah : Fiqih adalah pengetahuan tentang hal-hal yang berguna, yang berbahaya bagi diri seseorang. Ujarnya lagi : Ilmu itu hanya untuk diamalkannya, sedang mengamalkan di sini berarti meninggalkan orientasi demi akhirat. kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan ini tidak untuk sembarang ilmu, tapi terbatas pada ilmu agama, dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah laku atau bermuamalah dengan sesama manusia.  Ilmu itu sangat penting karena ilmu sebagai perantara (sarana) untuk bertaqwa. Dengan taqwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat disisi Allah, dan keuntungan yang abadi.
  •  niat dalam mencari ilmu. Wajib berniat waktu belajar. Sebab niat itu menjadi pokok dari segala hal. Dalam belajar  hendaklah diniati untuk mensyukuri kenikmatan akal dan badan yang sehat. Belajar jangan diniatkan untuk mencari pengaruh, kenikmatan dunia ataupun kehormatan di depan sultan dan penguasai-penguasa lain.
  • cara memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan. Bagi pelajar, dalam masalah ilmu hendaklah memilih mana yang terbagus dan dibutuhkan dalam kehidupan agmanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu yang akan datang. Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, waro’ dan juga lebih tua usianya. Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang tekun, waro, bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar memfitnah.sebaiknya pelajar mempunyai hati tabah dan sabar dalam belajar kepada sang guru, dalam mempelajari suatu kitab jangan sampai ditinggalkan sebelum sempurna dipelajari, dalam satu bidang ilmu jangan sampai berpindah bidang lain sebelum memahaminya benar-benar, dan juga dalam tempat belajar jangan sampai berpindah kelain daerah kecuali karena terpaksa. Kalau hal ini di langgar, dapat membuat urusan jadi kacau balau, hati tidak tenang, waktupun terbuang dan melukai hati sang guru.
  • cara menghormati ilmu dan guru.  Seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati keagungan gurunya. Termasuk arti mengagungkan ilmu, yaitu menghormati pada sang guru. Ali ra berkata: “Sayalah menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.” Barang siapa melukai hati sang gurunya, berkah ilmunya tertutup dan hanya sedikit kemamfaatannya. diantara adab dalam mencari ilmu yaitu
  • Memulyakan Kitab.
  • Jangan Duduk Terlalu Dekat Dengan Guru.
  • Menghormati Teman. 
  • Sikap Selalu Hormat Dan Khidmah. 
  • Jangan Memilih Ilmu Sendiri. 
  •  Menyingkiri Akhlak Tercela.
  • kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah dan cita-cita yang luhur. pelajar juga harus bersungguh hati dalam belajar serta kontinu (terus-terusan). pelajar harus dengan kontinyu sanggup dan mengulangi pelajaran yang telah lewat. Hal itu dilakukan pada awal waktu malam, akhir waktu malam. Sebab waktu diantara maghrib dan isya, demikian pula waktu sahur puasa adalah membawa berkah.
  • ukuran dan urutannya. Guru kita Syaikhul Islam Burhanuddin memulai belajar tepat Pada hari rabu. Dalam hal ini beliau telah meriwayatkan sebuah hadist sebagai dasarnya, dan ujarnya: Rasulullah saw bersabda: ” tiada lain segala sesuatu yang di mulai pada hari rabu, kecuali akan menjadi sempurna.”Mengenai ukuran seberapa panjang panjang yang baru dikaji, menurut keterangan Abu Hanifah adalah bahwa Syaikh Qadli Imam Umar bin Abu Bakar Az-Zanji berkata: guru-guru kami berkata: “sebaiknya bagi oarang yang mulai belajar, mengambil pelajaran baru sepanjang yang kira-kira mampu dihapalkan dengan faham, setelah diajarkannya dua kali berulang. Kemudian untuk setiap hari, ditambah sedikit demi sedikit sehingga setelah banyak dan panjang pun masih bisa menghapal dengan paham pula setelah diulanga dua kali. Sebaiknya dimulai dengan pelajaran-pelajaran yang dengan mudah telah bisa di fahami. Sebaiknya sang murid membuat catatan sendiri mengenai pelajaran-pelajaran yang sudah di fahami hafalannya, untuk kemudian sering diulang-ulang kembali. Karena dengan cara begitu, akan bermanfaat sekali.
  • tawakal. Pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang karena masalah rizki, dan hatinya pun jangan terbawa kesana. Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah Ibnul Hasan Az-Zubaidiy sahabat Rasulullah saw : “Barangsiapa mempelajari agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rizki dari jalan yang tidak di kira sebelumnya.”
  • waktu belajar ilmu. Ada dikatakan : “Masa belajar itu sejak manusia berada di buaian hingga masuk keliang kubur. “Hasan bin Ziyad waktu sudah berumur 80 tahun baru mulai belajar fiqh, 40 tahun berjalan tidak pernah tidur di ranjangnya, lalu 40 tahun berikutnya menjadi mufti.
  • saling mengasihi dan saling menasehati. Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat serta jangan berbuat dengki. Dengki itu tidak akan bermanfaat, justru membahayakan diri sendiri.
  • mencari tambahan ilmu pengetahuan. Pelajar hendaknya menggunakan setiap kesempatan waktunya untuk belajar, terus-menerus sampai memperoleh keutamaan. Caranya dilakukan bisa dengan selalu menyediakan botol wadah tinta untuk mencatat segala hal-hal ilmiah yang didapatinya.
  • bersikap wara’ ketika menuntut ilmu. Dalam masalah waro’, sebagian ulama meriwayatkan hadist dari Rasulullah saw. : “Barang siapa tidak berbuat waro’ waktu belajarnya, maka Allah memberinya ujian dengan salah satu tiga perkara : dimatikan masih berusia muda, ditempatkan pada perkampungan orang-orang bodoh atau dijadikan pengabdi sang pejabat”. Jikalau mau membuat waro’ maka ilmunya lebih bermanfaat, belajarpun mudah dengan banyak-banyak berfaedah.
  • hal-hal yang dapat menguatkan hapalan dan yang melemahkannya.Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinuitas, mengurangi makan dan shalat di malam hari. Membaca Al-Qur’an termasuk penyebab hafalan seseorang, ada dikatakan : “Tiada sesuatu yang lebih bisa menguatkan hafalan seseorang, kecuali membaca Al-Qur’an dengan menyimak. “Membaca Al-Qur’an yang dilakukan dengan menyimak itu lebih utama, sebagaimana sabda Nabi saw : “Amalan umatku yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an dengan menyimak tulisannya.”Penyebab lupa adalah laku maksiat, banyak dosa, gila dan gelisah karena urusan dunia. Seperti telah kami kemukakan di atas, bahwa orang yang berakal itu jangan tergila-gila dengan perkara dunia, karena akan membahayakan dan sama sekali tidak ada manfaatnya. Gila dunia tak lepas dari akibat kegelapan hati, sedang gila akhirat tak lepas dari akibat hati bercahaya yang akan tersakan di kala shalat. Kegilaan dunia akan menghalangi berbuat kebajikan, tetapi kegilaan akhirat akan membawa kepada amal kebajikan.
  • hal-hal yang mempermudah datangnya rijki, hal-hal yang dapat memperpanjang, dan mengurangi umur.Rasulullah saw bersabda : ‘Hanyalah do’a yang merubah taqdir, dan hanyalah kebaktian yang bisa menambah usia. Dan sesungguhnya lantaran perbuatan dosanya, rizki seseorang menjadi tertutup. Terutama berbuat dusta adalah mendatangkan kefakiran, sebagaimana dalam hadist lain, secara khusus telah dikemukakan.






"Kitab Kuning ala Pesantren"

Apa itu kitab Kuning ...?







➠ baiklah teman-teman , kali ini saya akan menuliskan sedikit tentang kitab kuning yang masyhur di kalangan Pesantren di Nusantara ini...
Apa sih kitab kuning ....? kenapa sih harus kuning ....?
Kenapa nggak hijau aja...?
Oke,

menurut Sebagian santri mendefinisakn kitab kuning yaitu : 

Disebut Kitab Kuning ⇢
karena dulunya kitab-kitab tersebut dicetak pada kertas berwarna kuning. Baik cetakan dalam negeri atau cetakan luar negeri (Beirut).
Walaupun saat ini sebagian besar sudah dicetak pada kertas  berwarna putih, namun nama kitab kuning tetap dipakai dan lebih populer daripada sebutan lain. Bahkan, kitab versi digital pun tetap disebut kitab kuning.
"mungkin cukup itu saja ,yang bisa saya bagiakan ......

suatu saat nanti saya InsyaALLOH akan membagikan kitab2 mu'tabroh dalam format PDF."





Friday, September 21, 2018

Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi


"Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi"



1.        Tentang sifat Tuhan

Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]

3.        Tentang Al-Quran

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar

Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan

Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan

Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:


  • Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.

F.       Kesimpulan


Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.

Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat  Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah

Thursday, September 20, 2018

Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)



Membincang soal Ahlussunnah wal Jama’ah (selanjutnya disebut Aswaja), kita tidak bisa lepas dari sejarah panjang di mana sejarah ini akan membentuk sebuah peta kesejarahan Aswaja apabila dilihat dari berbagai perspektif. Untuk itu, saya perlu membuat sebuah roadmap sejarah Aswaja agar labirin Aswaja dari zaman ke zaman mudah dibongkar dan disuguhkan dalam sebuah teks yang mudah dipahami bersama. Sebelum membahas soal peta kesejarahan Aswaja, lebih baiknya kita mengerti pengertian Aswaja secara tekstual-harfiah-skriptural.

Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) adalah Ahlussunnah berarti ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah Nabi Muhammad. Sementara itu, Jama’ah yang dimaksud merujuk pada jama’ahnya Nabi Muhammad yang tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya seperti tabi’in, tabi’ut tabi’in, termasuk imam empat madzab (ada yang mengklasifikasikan sebagai tabi’in dan ada juga yang mengklasifikasikan sebagai tabi’ut tabi’in) atau salafush shalih, hingga generasi berikutnya yang punya ikatan madzab dengan generasi salafush shalih.

Setelah tahu arti atau makna Aswaja dalam perspektif bahasa, sekarang coba kita bedah historisitas Aswaja dari zaman ke zaman untuk mengetahui titik terang bagaimana sebetulnya Aswaja terbentuk hingga menjadi salah satu madzab yang menjadi rebutan para kelompok Islam di dunia. Banyak organisasi Islam bermunculan yang kemudian masing-masing mengklaim bahwa merekalah penganut Aswaja.

Saya garis besar saya akan membagi historisitas Aswaja ke dalam tiga fase besar. Pertama, fase teologis. Kedua, fase sosial-politik. Ketiga, fase madzab. Fase madzab juga berarti fase aliran atau ideologi. Ini hanya ijtihad dan formula ilmiah kesejarahan yang saya buat secara pribadi, tidak merujuk dari buku atau kitab mana pun sehingga Anda boleh setuju atau tidak. Yang jelas, klasifikasi fase Aswaja ini saya buat untuk memudahkan pemahaman terhadap roadmap sejarah Aswaja.

Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, saya lebih suka menamai fase ini dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat. Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
Kenapa saya namankan fase teologi formal? Sebab, Nabi sudah mengumumkan Aswaja sebagai aliran Islam yang akan selamat secara formal-resmi kepada umatnya. Meskipun demikian, kata “ahlussunnah wal jama’ah” sama sekali tidak disinggung dalam peristiwa ini, sehingga hanya sebagai basis ajaran atau teologi saja. Dengan alasan ini, saya lebih suka menamakan peristiwa ini sebagai fase teologi formal dalam lintasan historisitas Aswaja.
Selanjutnya, kita coba bahas sejarah Aswaja pada fase sosial-politik. Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H – 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring populernya ajaran ini, Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.
Kita kembali kepada sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij. Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Artinya: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
Seiring berkembangnya ajaran Aswaja sebagai aliran pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing kelompok Islam menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau perkumpulan Islam yang menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir (manhaj al-fikr). Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini, Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhaj al fikr bagi perkumpulan atau organisasi keislaman. Dalam fase ini pula, banyak organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam bermadzab Aswaja.
Hadirnya para penyebar agama Islam di Nusantara seperti Walisongo memberikan warna bagi tumbuh suburnya aliran Aswaja di Indonesia. Walisongo menyebarkan Islam dengan cara damai, akomodatif, moderat, toleran dan berpegang pada mengambil maslahat dan menolak kemudaratan sebagai konsep yang dibawa oleh para ulama pendahulu yang mengusung Aswaja. Spekulasi saya, cara Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara juga berpedoman pada Aswaja.
Di Indonesia, tokoh yang digadang-gadang sebagai Bapak Aswaja Indonesia boleh jadi adalah KH Hasyim Asy’ari yang merupakan founding father pesantren Tebu Ireng, pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20 an. Kenapa saya katakan Bapak Aswaja? Sebab Hasyim Asy’ari lah yang merumuskan secara formal bagaimana organisasi Islam yang ia bentuk (Nahdlatul Ulama) harus menggunakan aliran Aswaja sebagai manhajul fikr.
Bersama dengan ulama penting lainnya, Hasyim Asy’ari membentuk organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 dengan Aswaja sebagai landasan dan manhajul fikr-nya. Begini kutipannya, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”
NU secara eksplisit menjelaskan bahwa tujuan awal dibentuknya NU adalah untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Aswaja juga menjadi landasan atas semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Bukan hanya landasan dalam kehidupan beragama, tetapi menjadi landasan moral di setiap kehidupan sosial-politik NU.
Bertolak dari sini, ada beberapa prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan NU (hasil dari ijtihad KH Akil Siraj) yaitu tawasuth (moderat, sikap tengah-tengah, sedang, tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli), dan Amar ma’ruf nahi munkar.